Ibu Mau Melakukan Apa Saja Denganku
Namaku Surti. Anak satu-satunya dari emak dan bapak. Rumahku reyot, hanya gubuk bambu. Kalau menjelang pagi, sinar matahari menembusi dinding-dinding rumahku. Kalau hujan, yah ada bocor disana-sini. Aku tak punya kamar sendiri, tempat tidurku berbagi dengan emak bapak. Lebarnya benar-benar ngepas. Jadi kalau tidur tidak bisa sembarang berguling-guling. Bisa-bisa aku terbangun di atas tanah esoknya.
Yah, rumahku tak berubin. Hanya tanah. Terkadang di beberapa sudut ada lubang semut hitam. Aku suka memancing mereka. Salur dari tanaman kumasukkan ke dalam lubang. Tak lama kemudian pasti ada yang menggigit. Kutarik perlahan. Semut hitam yang besar pun muncul ke permukaan, bergelantung di salur. Lalu ia terjatuh ke tanah dan kembali masuk ke lubang. Hihi..lucu. Emakku penjual kayu bakar. Tiap pagi ia selalu ke gunung, mencari kayu-kayu kering untuk dijual. Hasilnya akan digunakan untuk membeli beras dan kebutuhan lain di pasar. Bapakku pekerja serabutan. Ia akan ambil semua pekerjaan yang ditawarkan kepadanya.
“Mak aku pergi dulu ya ke sekolah,” ucapku seraya memeluk emak yang sedang duduk di kursi. Ia sedang menjahit baju yang robek. Tanganku yang pendek tak dapat merangkul seluruh tubuhnya. Kepalaku kuletakkan di dadanya. Rasanya seperti sedang memeluk guling dan meletakkan kepala di dua bantal berbentuk melon yang empuk.
“Ya…eh itu topi merahnya mana?”
“Oh ya… ampir lupa.” Emakku menoel pipiku, “Nanti disetrap lagi, gak bawa topi.”
“Ya dah mak, Surti pergi dulu.”
“Hati-hati di jalan.”
Aku berjalan dengan menggantung kedua sepatu hitamku di leher. Aku hanya memakainya kalau sudah tiba di sekolah. Maklum kami miskin. Jadi sepasang sepatu ini hanya ada satu-satunya. Agar tak cepat rusak, aku tak menggunakannya di jalan. Selama di perjalanan aku berpikir, 6 bulan lagi, aku akan naik kelas. Pakaian seragam putih merah ini tidak akan kupakai lagi. Berganti dengan yang putih biru. Artinya harus beli seragam lagi. Keluhku. Perlu uang. Setiap kali kebutuhan akan uang mendera, aku selalu gundah. Aku kasihan dengan bapak dan emakku. Raut wajah mereka berubah seperti orang yang sedang berpikir keras, kala aku meminta uang untuk kebutuhan sekolah.
Aku bingung. Di sekolah, di jam istirahat, aku suka melihat segerombolan laki-laki yang suka ngisengin anak-anak perempuan. Mereka suka noel-noel bagian-bagian tubuhnya. Yang paling sering jadi sasaran ya itu bagian dada dan pantat. Terus kalau sudah noel, mereka tertawa terbahak-bahak…”Haha…dadanya kecil…” Kadang aku kasihan dengan mereka, tapi kalau ada yang membantu pasti juga turut jadi korban. Diangkat-angkatlah roknya, didorong-dorong. Sampai ada yang nagis digituin. Biasanya nanti pasti datang Pak Imam, wali kelasku. Dia akan menghukum gerombolan anak laki-laki itu. Mereka takut dengan Pak Imam. Suaranya berat, sikapnya tegas. Aku kagum dengannya.
Suatu waktu Pak Imam memanggilku. “Surti kemari, ikut bapak.”
“Iya pak…” Aku diajak masuk ke sebuah ruangan, tempat anak-anak biasanya berkonsultasi.
“Silahkan duduk…”
“Iya pak.” “Ada yang ingin bapak bicarakan.” “Ada apa?”
“…Mengenai uang sekolah kamu.”
Aku tertunduk mendengar kata-kata itu. Aku sudah tahu kemana arah pembicaraan ini. Bayaran uang sekolahku memang sering nunggak. Aku sampai malu dibuatnya. Tapi gimana, tidak ada uang.
“Kalau kamu sampai tidak membayar lagi bulan ini… kamu harus berhenti sekolah.
“Jangan pak! Jangan… nanti pasti dibayar,” ucapku dengan nada ingin menangis. Pak Imam terdiam.
“Orang tuamu masih belum ada uangnya, yah..?” Aku menunduk, menggeleng. “Hmm..bapak ada solusi…kalau kamu mau….uang sekolahmu akan lunas…” “Apa itu pak…?” Tanyaku penuh harapan.
Pak Iman diam sejenak. Kemudian ia memegang lututku. Aku kaget. Tangan itu pun bergerak masuk ke dalam rokku mencoba mengusap pahaku. Otomatis aku tahan. Jantungku berdegup. Aku tertunduk, takut.
“Angkat rok kamu…” Aku bingung dengan kata-kata pak Imam. Apa hubungannya dengan uang sekolah?
“Angkat rok kamu…biar bapak lihat ce
lana dalam kamu…nanti bapak yang bayar uang sekolahnya.”
Aku merasa janggal sekali dengan permintaan Pak Imam, sekaligus malu. Aku mengisut. Pak Imam menghela nafas.
“Kalau kamu tak mau, tak apa-apa… tapi bilang yah ke orang tua kamu, minggu depan harus sudah lunas,” ucap pak Iman lembut.
Ia menarik tangannya dari rokku dan bangun dari kursi dan menepuk-nepuk kepalaku. Saat ia hendak melangkah pergi, aku merasa harapanku akan melayang pergi bersamanya. Reflek kutahan tangannya.
“Kalau Surti angkat rok Surti, uang sekolah Surti lunas?” Tanyaku memastikan kembali.
“Ya.” Jawab pak Imam pendek.
“Kenapa, kamu berubah pikiran?” Aku mengangguk pelan. Lalu ia duduk kembali.
“Pak Imam ingin lihat celana dalam Surti?”
“Iya.” Aku terdiam. Perlahan kutarik rokku ke atas. Tepiannya mulai melewati lutut. Naik sedikit hampir setengah paha. Pak Imam menatap tak berkedip ke arah kakiku. Tapi kemudian aku rapikan kembali.
“Gak bisa begitu Surti…harus sampai celana dalamnya kelihatan…”
“Tapi Surti malu….”
“Nanti uang sekolahnya lunas, kalau kamu kasih unjuk.” Bayang-bayang aku tak bisa bersekolah lagi membuatku begitu takut. Akhirnya aku angkat lagi rokku hingga CD ku terlihat sedikit. Kuapit rapat-rapat kedua kakiku.
“Ayo terus….” pinta pak Imam dengan mata membelalak. Akhirna kuangkat rokku hingga seperut, dan Pak Imam bisa melihat semua CDku yang putih dan kakiku. Pak Imam lalu mengeluarkan dompet dan mengeluarkan uang Rp.50.000.
“Bapak akan kasih ini…kalau Surti mau lebarin kedua paha Surti…” Lima puluh ribu.. banyak sekali… aku bisa beli seragam nanti… pikirku dalam hati. Tapi aku malu… Pak Imam kembali menghela nafas dan memasukkan kembali uang itu ke dompetnya.
“Tunggu, pak,” cegahku buru-buru. Aku menelan ludah. Jantungku berdebar kencang. Lalu kubuka perlahan kedua pahaku. Mempertontonkan daerah kemaluanku ke Pak Imam. Pak Imam menatap bagian bawah tubuhku tanpa berkedip.
“Surti…,” panggilnya lirih.
“Iya pak….” Lalu ia keluarkan lagi selembar Rp.50.000 “Bapak kasih ini, kalau kamu mau masukin tangan kamu ke dalam CD kamu, dan keluar masukin jari tengah kamu ke lubang kamu.”
Aku tidak paham dengan keinginan pak Imam. Tap yang jelas aku butuh uang dan aku bisa mendapatkannya saat ini. Maka aku pun memasukkan tangan kananku ke dalam CDku dan mulai mencolok-colok lubangku dengan jari tengahku. Pak Imam duduk tegak tak bergeming, memperhatikan diriku. Mukaku sudah memerah seperti kepiting rebus.
“Lebih cepat coloknya,Surti…” Aku lakukan sesuai perintahnya. Aku tak mengerti buat apa.Tiba-tiba saja… aku mulai merasakan sesuatu yang aneh di lubangku ini.Di saat bersamaan lubangku terasa semakin basah dan licin.
“Ahh…ah….,” Tanpa disuruh aku colok-colok makin cepat. Oohh… aku tak bisa menahan rasa ini. Apa ini… terasa ada gelombang yang menerjang di dalam tubuhku, aku tak kuasa menahan kencing. javcici.com Sesuatu seperti memaksa hendak keluar dan…. “AAHHHH!!” Tubuhku mengejang berkali-kali. Sesudah itu aku terkulai lemas dengan celana dalam yang basah. Dan meja juga kelihatannya terkena semprotan kencingku. Lalu pak Imam mengambil tisu dan mengelap cairan yang ada di meja dan kakiku.
“Yuk sini, Surti…kita bersihin dulu. Sebelum kamu masuk kelas.” Sambil sedikit lunglai aku berjalan mengikuti pak Imam ke WC di dalam ruangan tersebut. Di dalam ruangan kecil berubin putih bersih, pak Imam meloloskan CD ku melewati kakiku.
“Di lepas yah..CDnya dah kotor.” Ia menaruhnya di atas tutup toilet duduk.
“Tahan roknya.” Lalu ia ambil semprotan air dan menyemprot kemaluanku dan pahaku dengan air.
Kemudian ia mengusap-usap kaki dan pahaku untuk menghilangkan cairan tadi. Telapakn tangannya terasa sangat besar dan kasar. Terus terang saja, rasanya baru kali ini ada laki-laki yang menjamahku seperti ini. Mungkin karena tadi aku dah sampai kasih lihat celana dalam dan lebarin paha, aku menjadi tidak terlalu canggung dengan yang dilakukannya kemudian. Lalu jari tengahnya mulai menyentuh kemaluanku dan menggsok-gosoknya sambil disemprot air. Setiap kali kurasakan jemarinya menggesek lubang kencingku. Sensasi yang tadi kembali lagi.
“Aah..” lenguhku seraya menggerakkan pinggulku. Pak Imam diam, melihat reaksiku.
“Kenapa….enak…?” tanyanya kepadaku. Aku mengangguk. Pak Imam tidak bicara lagi dan terus membersihkan kemaluanku.
“Nghh….” Kugenggam erat rokku. Alisku merengut menahan rasa itu. Tangan Pak Imam berhenti. Akhirnya selesai, pikirku. “AAhhhh…” tahu-tahu kurasakan sesuatu masuk ke dalam lubangku.
“Pak…..Imammh….” Pak Imam merangkul pundakku dan menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Lalu ia duduk di atas toilet duduk. Kulihat ke bawah, jari tengah Pak Imam bergerak keluar masuk lubangku. Terdengar nafasnya yang memburu di telingaku. Tangan satunya masuk ke dalam baju seragam dan kaos dalamku dari bawah. Telapak tangannya mengusap perutku lalu perlahan naik ke arah dadaku. Jarinya memelintir-melintir putingku. Apa sih yang dilakukannya, pikirku tak mengerti.
“Enak gak, bapak giniin?” Sambil memejam mata, aku mengangguk.
Lalu ia berdiri dan menyuruhku duduk di toilet. Pak Imam membuka sabuknya, pengait celananya, dan zippernya. Ia keluarkan benda panjang dengan bulu-bulu di pangkalnya dari celana dalamnya. Aku kaget sampai menutup mulutku. Pak Imam menurunkan tanganku agar tak menutupi mulutku. Ia pegang kepalaku sambil mengocok-ngocok benda panjang itu di depanku. Tidak tahu kenapa, tapi benda itu membuat jantungku dag dig dug. Pak Imam lalu mendekatkan barangnya ke wajahku, lebih tepatnya ke mulutku. Apakah ia ingin memasukkannya ke mulutku? Takuuut….
“Isep Surti…Isep penis bapak….” Aku masih menutup mulutku rapat-rapat. Penis itu disundul-sundulnya ke bibirku.
“Ayo Surti, buka mulutnya….” Pak Imam mencoba membuka mulutku dengan tangannya. Saat kubuka, benda itu pun langsung masuk. Rasanya seperti Sosis yang sangat besar.
“Ngghh ahh…..,” lenguh Pak Imam. Mulutku terasa penuh. Aku bingung dengan perbuatan wali kelasku ini. Kelihatannya ia menikmatinya. Pak Imam menahan kepalaku sambil menggoyang-goyangkan pinggulnya.
“Ohh….Surti…enak sekali….”
Tiba-tiba kami mendengar ada suara beberapa orang masuk ke dalam ruangan. Kami berdua kaget sekali. Pak Imam langsung buru-buru mencabut barangnya dari mulutku dan memasukkannya susah payah kembali ke celana dalamnya. Aku juga buru-buru merapikan seragamku tanpa suara. Semoga saja mereka segera keluar ruangan, pikirku. Pak Imam tampak pucat pasi. Raut wajahnya seperti orang ketakutan.
“Eh bentar, gw ke WC dulu yah…,” terdengar ucapan salah satu dari mereka. Aku hanya menatap Pak Imam, berharap ia tahu apa yang harus dilakukan. Suara langkah itu makin dekat. makin dekat.
“Ah! Loe, kita mesti cepet. Ntar aja nanti di istirahat kedua!”
“Eh, eh…aduh…ampun deh, pipis aja gak boleh.”
“Ntar telat nih.” Suara yang kedua tampak sedang menarik orang tadi pergi.
“Fuh….” Pak Imam tampak lega sekali.
“Surti… kembali ke kelas gih, sudah masuk tuh.”
“Iya pak…”
“Simpan uangnya baik-baik yah, jangan kasih tahu siapa-siapa.”
“Iya pak…”
Pengalaman itu hanya kusimpan sendiri. Tak kuceritakan kepada siapa-siapa. Terus terang aku tak tahu apa yang terjadi waktu itu. Rasanya aneh. Setelah hari itu, saat mandi aku suka memainkan kemaluanku dengan tanganku. Kadang kuusap-usap, kadang aku masukkan jari. Aku mencoba memahami apa yang kurasakan waktu itu. Rasanya memang enak. Semakin hari, aku semakin tak bisa lepas dari kebiasaan ini. Setiap kali ada kesempatan, pasti aku mainin lubangku. Apalagi kalau di kelas, aku kan duduk di depan. Pak Imam masih suka menawarkan Rp.50.000 agar aku mau melebarkan kakiku. Lalu ia pura-pura menjatuhkan sesuatu, agar ia bisa mengintip isi rokku. Kelakuannya suka mengusik hasratku. Aku terpaksa menyalurkan kebutuhanku di WC sekolah atau di dalam gudang sekolah yang tidak ada orang. Saat aku melakukannya, aku membayangkan kejadian di ruang konsultasi itu dan di WC, sampai akhirnya aku terkencing lagi.
Belakangan aku mulai memperhatikan kedua orang tuaku. Ingat kan tempat tidur kami hanya satu empet-empetan. Kalau malam kadang mereka suka melakukan sesuatu, misalnya raba-raba, cium-cium. Tentu saja mereka melakukannya kala mereka anggap aku sudah tertidur. Ini sih bukan pertama kali aku melihat mereka melakukan itu. Tapi semenjak kejadian dengan Pak Imam, kemaluanku selau berdenyut, saat mereka berdua begitu. Aku tak tahan. Jadinya di bawah selimut, aku pun mainin kemaluanku. Usap-usap dari luar celana. Kala mereka sedang begituan, biasanya aku hanya bisa melihat punggung emak yang menghadap ke bapak. Banter aku melihat pantatnya diremas-remas dan punggunya diusap-usap. Pernah sih aku kaget ngeliat kepala bapak nongol di antara kedua paha emak. Keliatannya dia sedang ngejilatin kemaluan emak. Ah..apa yah rasanya dijilatin?
Suatu hari di sekolah, aku sedang tertimpa sial. Gerombolan laki-laki yang suka mengganggu anak-anak cewek itu mengerumuni aku. Jumlahnya 4 orang. Mereka berpakaian putih biru. Aku sering melihat mereka, tapi aku tak kenal nama-nama mereka. Kenapa sih mereka gangguin aku. Aku kan tak pernah buat salah ke mereka. Mereka bergerak merapat, mengurungku.
“Auh…aaaaa…” rengekku, kala seseorang yang paling gendut dari menoel teteku. Reflek aku langsung menutupnya dengan kedua tanganku.
“Eh…berani kamu ya…nutupin…,” ancam salah satu dari mereka yang rambutnya keriting.
“Auh…,” seruku kaget Pantatku kini jadi sasaran toelan anak yang di balik punggungku. Aku jaga pertahanan di belakangku dengan menyilankan tangan ke belakang.
“Pegangin…pegangin…” Dua orang langsung memegang tanganku, dan menahannya agar tetap berad di samping badanku. Aku coba meronta tapi tenaga mereka jauh lebih kuat. Si keriting mendekat sambil tersenyum, sambil menunjukkkan kedua telunjuknya bergerak-gerak seperti menoel-noel. Lalu tangannya pun mendekat ke arah dadaku.
“Jangan donk….,” rengekku.
“Lepasin.”
Permintaanku tak digubrisnya. Si keriting menyentuhkan kedua telunjuknya ke daerah putingku. Daerah sensitifku pun ditoelnya berulang-ulang. Aku reflek berontak, tapi tak bisa lepas.
“IIii… putingnya mengeras coy…,” ucap si keriting kegirangan. Tiba-tiba aku melihat sebuah kepala berada di antara kedua kakiku.
“Wuih…putih….srllp…” Kenapa sih cowok suka ngintip CD ku…? Toelan si keriting, mengusik hasratku. Tapi di sisi yang sama, aku kesal dengan perbuatan
mereka. “Bejeerk!” tiba-tiba saja terlintas di benakku untuk menginjak kepala si anak yang kurang ajar itu.
“AAWWW!” Teriak si tukang intip itu kesakitan, sambil memegangi wajahnya. “Wee…berani lo ya!” Si keriting tampak marah. Kancing bajuku ia lepas satu persatu.
“Jangan….”
Setelah seragamku terbuka, ia angkat kaos dalamku. Lalu ia toel-toel lagi, putingku dengan cepat tanpa ada yang memisahkan jarinya dengan putingku. “Aahh…” Bayangan pak Imam ketika dulu memainkan putingku di WC berkelebat di benakku. Rasa itu kembali terbakar. Pak Imam tolongg… panggilku dalam hati. Di saat seperti ini biasanya ia selalu datang menolong gadis-gadis yang diganggu mereka. “Srrttt..” zipper rokku ada yang membukanya. Jepitan rokku tba-tiba terasa mengendur. Aduuhh anak yang tadi kuinjak, melorotin aku. CDku pun ditariknya. Kuapit kedua kakiku agar jangan sampat lepas. Tapi apa daya usahaku sia-saia. CD itu copot dari kedua pahaku. Semua anak laki-laki disitu memandangi bagian bawahku tanpa berkedip. Sama seperti Pak Imam.
“Gw mau coba jilat kemaluannya ah, kayak bapak gw ke ibu gw.” ucap yang meloroti aku dari belakang.
“Gile lo, ngintip bonyok sendiri,” kata anak yang rambutnya botak yang sedang memegangi tanganku.
“Ah…gak sengaja….” Anak itu berjalan ke depanku sambil membungkuk melewati tangan temannya yang sedang sibuk menoel-noel putingku. Ia berlutut. Kurasakan kedua telapak tangan
nya meraih pantatku dan mendorong bagian bawahku ke wajahnya. Hembusan nafas dapat kurasakan di daerah selangkanganku.
“Wow…cantik kemaluannya.” Sedetik kemudian kurasakan benda lunak yang basah, membelah bibir lubangku. “AAahhh….” Bergetar kakiku saat daerah itu dijilat-jilat. Inikah yang emakku rasakan saat dijilat bapak? Ingin rasanya aku menjerit meminta tolong. Tapi takut dan malu kalau orang-orang menemukanku dalam keadaan seperti ini. PAK IMAAMM! Jeritku dalam hati.
“HEI! NGAPAIN KALIAN!” Suara berat nan keras tiba-itba menggelegar.
“Pak Imam! Pak Imam datang! Kabur! Kabur!” seru anak-anak pengganggu itu berhamburan.
“Mau kemana kalian!” Kedua tangannya yang besar dengan cepat merengut kerah dua dari empat anak nakal itu. Mereka sampai tercekit tertarik ke belakang, seperti ayunan. Ibarat daging di pasar yang digantung di pengait, mereka terangkat sampai jinjit-jinjit.
“Kamu tak apa-apa Surti?” Aku menggeleng sambil menangis. Syukur Pak Imam akhirnya datang. Kulihat Pak Imam memperhatikan tubuhku yang belum sempat kututupi. Mukanya memerah.
“Ya sudah, kamu rapikan bajumu,” susul bapak untuk menyelesaikan masalah ini.
Pada akhirnya keempat anak itu diskors. Dan aku diberi konseling oleh ibu Endar, guru agama. Tapi semua yang kualami hanya membuatku aku semakin cepat berhasrat. Kini kalau Pak Imam ingin mengintip rokku, kadang aku sudah tak pakai lagi CDku. Efeknya sungguh luar biasa ke dirinya. Ia sampai tak bisa mengajar dengan baik di kelas.
Di rumah kala emak dan bapak lagi gituan, aku pun tidak melepaskan kesempatan itu untuk merangsang kemaluanku. Aku jadi seolah-olah sedang melakukan apa yang mereka lakukan bersama-sama. Seminggu kemudian, di suatu malam bapak tidur di tengah. Biasanya di pojok. Tahu-tahu bapak berbalik dan tanngannya menindih tubuhku. Duh beratnya. Kudorong pelan, supaya ia balik lagi. Tapi susah sekali. Grookk… ah..pakai ngorok..gimana aku bisa tidur. Tiba-tiba saja, tangannya itu menyelusup masuk di antara kedua pangkal pahaku.
Shh…alamak…ahh…hasratku bangkit lagi …situnya kepegang. Aku coba dorong lagi badannya, tapi tidak bisa. Jadinya aku pasrah saja kemaluanku dipegang-pegang bapak dari luar celana. Bapak gak pernah berbuat seperti ini sebelumnya. Kulihat wajahnya seperti orang tertidur. Tapi tangannya terus bergerak-gerak menggesek selangkanganku. Ya sudah aku diam saja. Bahkan aku lebarin kedua pahaku. Aku pejamkan mataku, menikmati gerakan-gerakan yang dilakukan bapak di bagian bawah itu. Lama-lama gerakannya makin cepat. Alisku sampai merengut merasakan kenikmatan gerakan tangan bapakku. Kurengut-rengut kain selimut. Lalu kupegang tangan bapak, merasakan gerakan tangannya yang membuatku merasa seperti ini. “Aah…” jeritku dalam hati, rasa geli smakin memuncak. Srr…srr…srrrr… akhirnya aku keluar…
Keesokan paginya bapak bersikap seperti tidak terjadi apa-apa malam itu. Tapi aku jelas tidak dapat menyembunyikan perasaanku. Ada rasa malu, aneh, bercampur aduk.
“Mak, pak, Surti pergi ke sekolah dulu ya….”
“Sekalian sama bapak yuk,” kata bapak. Bapak juga mau pergi ke pusat.
“Gih pergi sama bapak, tumben tuh dia mau nganterin…,” ucap emak. Aku diam saja. Bayang-bayang semalam masih teringat jelas di pikiranku.
“Bu, aku pergi dulu ya…”
“Ati-ati di jalan ya….” Aku dan bapak berjalan bersama. Ia menggandeng tanganku. Sudah berapa lama, ya aku tidak berjalan bersama bapak. Biasanya pagi-pagi subuh ia sudah pergi duluan dan aku selalu berjalan sendiri ke sekolah. Saat di jalan, tiba-tiba bapak mengambil jalan yang bukan jalan tercepat ke sekolah. Ia mengambil rute yang lain. Aku bingung. Tapi aku ikuti saja. Setelah itu eh malah makin menjauh dari jalan.
“Pak kita mau kemana?”
“Ikut saja…” Kami berjalan melewati jalan setapak yang mulai berubah menjadi tanah. Terdengar suara sungai dari kejauhan. Rupanya kami sedang menuju salah satu sungai yang ada di desa kami. Di pinggir sungai ada sebuah batu yang besar. Bapak duduk disitu.
“Surti, ayo sini bapak pangku.” Aku melompat ke pangkuannya. Sudah lama aku tidak dipangku olehnya. Aku merasa senang. Tapi bagaimana sekolah? Hari semakin siang.
“Pak, aku ntar telat…”
“Gak apa-apa, hari kamu gak usah sekolah.”
“Kenapa?” “Ada yang ingin bapak bicarakan sama kamu…” “Bicara apa?” Angin bertiup sepoi. Air bergemericik. Sesekali kurasakan cipratan air sungai yang terbelah di batu. “Kamu suka dengan yang bapak lakukan semalam?” Aku terdiam sejenak.
“Yang mana?” Tanyaku pura-pura tak tahu.
“Waktu bapak pegang-pegang kemaluanmu…” Mukaku memerah dan aku tertunduk. Kubiarkan rambutku yang seleher, jatuh menutupi wajahku. Bapak menyampirkannya ke telingaku.
“Surti suka gak…?” Aku menatap nanar ke sungai. Diam seribu kata. Bapak membelai kepalaku lembut.
“Suka?” Tanya bapak lagi… Aku mengangguk.
“Alasan bapak melakukan itu, karena bapak suka lihat kamu usap-usap sendiri, kalau bapak lagi main sama emak. Bapak terangsang ngeliat kamu begitu…”
“Terangsang itu apa, pak?” Bola mata bapak, menatap ke atas lalu bergerak kiri dan kanan. Seolah ia mencari jawaban di atas kepalanya.
“Terangsang itu seperti ini…” Tangan bapak menyentuh betisku. Lalu perlahan merambat naik. Menyelusup masuk ke dalam rok merahku, melewati lutut. Kemudian ia mengusap-usap pahaku. Aku menatap wajahnya. Nafasku jadi tak beraturan. Tangannya yang lain menyelip lewat lengan atasku, menyentuh dadaku dan mengusap-usap daerah putingku.
“Pak…,” ucapku lirih. Kurebahkan kepalaku di dadanya.
“Surti mengerti?”
“Ngerti pak…” Tangan bapak yang mengusap pahaku, kini jari telunjuknya menggesek-gesek belahan lubangku dari luar CD. Tanpa ragu kulebarkan kedua pahaku, membiarkan ia kembali melakukan hal yang semalam kepadaku.
“Tarik roknya, nak…bapak mau lihat paha dan CD kamu….” Aku sudah mengerti kesukaan laki-laki. Kutarik rok merahku hingga bapak bisa melihat leluasa bagian bawah tubuhku.
“Bapak ingin Surti lepas CD?” Tanyaku berbisik? Bapak menatapku, tak menjawab. Lalu ia mencium bibirku.
“Iyah, lepas gih…” Aku turun dari pangkuan bapak, berdiri di dalam sungai yang dalamnya semata kaki. Aku memungguni bapak. Kulepas rokku dan kulempar ke tanah. Selanjutnya kutarik ke bawah CD ku. Aku membungkuk, untuk meloloskan dari kakiku. Di saat itu aku sedang membungku itu, tiba-tiba aku merasakan sebuah jari, masuk ke lubangku dari belakang.
“Aaaah…” “Cantik kemaluanmu surti…” Bapak menusuk-nusuk lubangku dari belakang. CD yang belum sempat kulepas, dan masih tersangkut di kaki kiri menjadi basah terendam air sungai.
“Aaah..ahh…pak…ahhh,” aku melenguh seperti tidak pernah sebelumnya. “Surti…bapak terangsang banget nih….”. “Gara-gara Surti?”
Kemaluanku terasa geli sekali. Tiba-tiba saja tusukan jari itu berhenti. Aku menengok kebelakang, kenapa bapak berhenti. Kulihat bapak melepaskan sabuk celanannya, membuka reseletingnya dan mengeluarkan sebuah batang panjang seperti yang pak Imam pernah lakukan.
“Surti berlutut…” Aku menurutinya.
“Bapak mau main di mulut kamu, nak.” Aku ada dugaan apa yang ingin ia lakukan. Aku membuka mulutku. Ternyata benar, batang bapak dimasukkan ke dalam mulutku. Bapak mengeluar masukkan benda itu ke dalam mulutku.
“Shh..ahh…ah…enak nak…” Ia menahan kepalaku. Pinggulnya digerakkan maju mundur. 5 menit ia begitu. Kulirik wajah bapak, tampaknya ia keenakan sekali.
“Sedikit lagi…sedikit lagi….” Sedikit apa? Pikirku… CRRoot crottt crott Kurasakan cairan hangat kental menyembur di dalam mulutku. Aku kaget setengah mati. Apakah bapak kencing di mulutku. Aku ingin segera menarik mulutku, tapi bapak masih menahan kepalaku. Semburan itu pun perlahan mengecil. Baru setelah itu aku dilepaskan. Aku buru-buru berkumur dengan air sungai. Kok lengket ya…?
“Bapak! Kenapa kencing di mulut Surti?”
“Ha?” Bapak tampak keheranan lalu tertawa…
“Bukan…Surti itu sperma bapak….” “Apa itu sperma…?” “Shh…nanti kamu juga mengerti….” Ayo sini kamu senderan di batu besar itu.
“Ntar ah…. Surti kumur-kumur dulu…”
“Yah…lekas kesini yah kalu sudah…” Bapak menunggu di dekat batu itu, memperhatikan aku yang sedang membersihkan mulut. Setelah selesai, aku menghampirinya.
“Ayuh bersender….” Aku menurut “Kamu tuh cantik kayak emakmu…”
“Masak sih…?” Lalu bapak menciumku…merambat turun ke dada, ke perut, hingga akhirnya selangkangku dicumbunya. “Ahh…” Jilatannya menyapu dari belakang hingga ke depan. Berulang-ulang. Kadang masuk ke dalam, mengaduk-aduk isinya.
“Mmhh…..” Aku jadi tak tahan. Pinggulku turut bergoyang. Owh…apakah teman-temanku yang lain juga begini dengan bapak mereka? Pikirku. Kulepas kancing bajuku. Kuangkat kaos dalamku. Kumainkan putingku sendiri, sambil memperhatikan bapakku menjilati kemaluanku.
“Bapak…Owh…” Kugigit bibirku menahan rasa yang menjalar dari bawah ke sekujur tubuhku.
“Pak ingin kencingg…..” Bapak tak bicara apa-apa, hanya saja jilatannya makin dipercepat. Aku merengut rambutku, menahan rasa ini.
“Ahh..ahhhhh…” Tiba-tiba tubuhku mengejang berkali-kali. Sesuatu yang deras menyemprot dari lubangku. Bapak mencoba menghindar, tapi sebagian cairannya mengenai wajahnya.
“Wah Surti…deras sekali orgasmenya…”
“Ahhhh..” aku terkulai lemas di batu. Nafasku tersenggal-seggal.
Orgasme? Apa lagi itu? Hari itu aku dan bapak jalan-jalan ke berbagai tempat, melihat-lihat pemandangan. Kami menangkap ikan di sungai dan memetik buah di hutan. Kukumpulkan kayu bakar, membuat api unggun dan kami panggang ikan-ikan tersebut. Enaknya. Buah segar sebagai pencuci mulut. Kemudian Aku bermain petak umpet. Bapak jaga, dan aku bersembunyi. Saat aku keluar dari persembunyian untuk menepuk tempat jaga. Eh keduluan. Sebagai hukumannya bapak membuka kancing-kancing seragamku, kaos dalamku diangkat, hingga putingku keliatan. Rokku dilepas, dan CDku diturunin setengah paha. Aku disuruh berlutut di tanah. Ia keluarkan batangnya dan aku dimintanya menghisapnya lagi.
“Shhh Surti…enak banget….” Aku hisap batangnya sampai spermanya keluar. Setelah itu kami pulang.
Di dalam perjalan pulang kami bercakap-cakap. “Pak.. emang bapak dan emak juga melakukannya yang kita lakukan tadi?”
“Iya…”
“Emak juga hisap batang bapak?”
“Iya..”
“Bapak suka jilat kemaluan emak?”
“Iya…Kan Surti sudah lihat bapak dan emak main.”
“Surti boleh ikutan gak, kalau bapak dan emak main?”
“Mmm…emak mungkin gak setuju…”
“Kenapa…?” “Mmm…memang Surti beneran ingin ikutan?”
“Iya…”
“Ya udah kita ke warung sebentar ya…”
“Ya…”
10 menit kemudian kami sampai di warung remang-remang. Bapak berbicara dengan pemilik warung. Ia sudah tua, rambutnya panjang seleher dan bewarna putih. Kalau tertawa, kelihatan giginya tinggal sedikit.
“Pak, minta raja malam sebungkus”
“Raja malam? Hehe… kenapa istrimu lagi gak bergairah?”
“Bukan….gak jadi deh, saya minta dua bungkus…”
“Buat dua malam nih…?”
“Bukan..satu malam saja…”
“Wah, wah… ada yang ingin sampai pagi nih…”
“Shhtt… dah ah ada anak kecil.”
Setelah membeli entah apa itu, kami pun pergi lagi. Hari sudah agak sore. Akhrinya kami sampai di rumah.
“Lho kok kalian berdua pulang barengan?”
“Ya kebetulan papasan di jalan,” jawab bapak.
“Dah masak?”
“Ini lagi siapin lalap buat makan malam.”
“Oooo….” Aku segera mencuci tangan dan membantu emak menyiapkan makan malam. Sementara bapak mengambil sebuah gelas dan mengisinya dengan air putih. Kulihat ia mengeluarkan dua bungkus raja malam dari sakunya, dan menuangkan isi serbuk ke dalam minuman itu. Ia mengaduknya.
“Bu..,” panggilnya seraya melangkah mendekatinya.
“Ini diminum dulu.”
“Duh, bapak baik banget…tumben ambilin air buat aku.”
“Dihabisin…”
“Iya…” Glek..glek..glek.. Emak meminum habis air putih yang diberikan bapak. Lalu kami berdua lanjut mempersiapkan makanan. 3 menit kemudian, aku mulai melihat emak seperti gelisah.
“Ibu kenapa? Sakit?” Emak menggeleng.
“Enggak” Lalu ia berdiri menghampiri bapak. Kudengar ia berkata.
“Pak, badanku rasanya aneh…”
“Aneh bagaimana….?” Emak membungkuk membisikkan sesuatu ke telinga bapak. Bapak tersenyum. Kemudian ia memasukkan tangannya ke dalam rok emak.
“Eh…pak, jangan…ada Surti…,” ucap emak seraya menahan tangan bapak bergerak naik ke atas.
“Aku juga pengen kok, bu…”
“Iya…tapi gak sekarang…Ada Surti…”
“Kamu cantik deh…” Bapak memeluk emak, dan menciumi lehernya. Tangannya meremas-remas dada emak yang besar.
“Pak Jangan…ada…Sur…ahh…”
Aku menelan ludah menyaksikan mereka berdua seperti itu. Hasratku jadi naik lagi. Bapak memasukkan tangannya ke dalam baju emak lewat leher, dan meremas dada kirinya dari dalam baju.
“Tete kamu memang besar, Sri…”
“Selalu bikin aku nafsu…pengen dijepit hari ini pake buah dada kamu…” “Aahh…..kamu….ngomongnya…”
“Salah ya…?”
“Enggak sayang….,” ucap emak seraya meremas benda bapak dari luar celananya. Bapak menurunkan baju di pundak emak. Tiba-tiba…”Stop..stop pak…aduh..gimana ini… ada ap denganku. Surti pak…ada Surti…”
“Shh…mau kemana sayang..” Bapak menarik emak hingga terduduk di tempat tidur, bapak terus menggerayangi tubuhnya.
“Surti…kemari…,” panggil bapak.
“Ii..Iya pak…” Jawabku tergugup, aku berjalan mendekati mereka berdua.
“Bantu emakmu terangsang yah…” Hmm..gimana…caranya…ya sudah aku coba masukin tanganku ke rok emak dan mengusap-usap pahanya.
“Surti..kamu ngapain nak…,” tanya emak dengan nafas tersenggal-senggal. Usapanku kunaikkan hingga menyentuh kemaluannya. Kuelus-elus daerah itu dari luar CD-nya. Emak mengernyit sambil menggigit bibirnya. Tangannya merengut-rengut celana bapak. Kain CD emak mulai terasa hangat dan lembab. Kumasukkan tanganku ke dalam CDnya dan kucolok-colok lubangnya yang sudah basah dengan jari tengahku.
“Owh…jangan nak…..,” kata emak sambil menggeleng. Ia hendak menarik lenganku, tapi bapak mencegahnya dan menahannya. Aku tahu kalau laki-laki suka melihat CD ku…tapi kalau perempuan kayak emak…gimana ya…,aku coba deh, aku naik dan berlutut di atas tempat tidur dan kuangkat rokku.
“Emak…,” panggilku sambil memperlihatkan bagian bawah tubuhku kepadanya .
“Surti…,” ucap emak dengan suara perlahan. Mmm…keliatannya tidak ada reaksi yang berarti. Emak hanya membelai-belai rambutku. Aku tak tahu, apakah aku berhasil merangsangnya?
“Surti, anak emak sayang,” ucapnya. Lalu tangannya bergerak dan menarik turun celana dalamku hingga setengah paha. Kemudian telapak tangannya mengelus-elus kemaluanku.
“Emak….,” seruku dengan suara yang birahi. Aku gerak-gerakkan pinggulku mengikuti gerakan tangan emakku.
“Shh…yah gitu sayang…,” bisik bapakku di telinga emakku. Bapak menarik baju emak hingga dada kanannya yang besar terlihat.
“Surti jilatin puting emak nih…” Aku menurut, kumasukkan puting emak ke dalam mulutku dan aku mulai menyusu di dadanya.
“NGhhh ahhhh….” Saat aku lakukan itu emak makin gelisah. Kemaluanku pun digosok-gosok semakin cepat. Geli sekali rasanya. Di saat berasamaan bapak meraba-raba pahaku naik turun, terkadang ia remas-remas pantatku. Aku jadi terangsang banget.
“Surti…jilatin emak….,” pinta emak. Ia buka celana dalamnya dan buka lebar pahanya. Emak menarik kepalaku ke arah kemaluannya. Karena sudah beberapa kali lubangku dijilat, aku kurang lebih tahu apa yang harus kulakukan. Kubuka bibir lubang emak, mulailah kujilat-jilat semuanya.
“Angghhh…”
“Enak Sri…?” tanya bapak.
“Banget….”
“Kamu suka kita main bertiga seperti ini….?”
“Hmm..gak tahu…gak bisa mikir….aneh banget malam ini…horni banget…”
“Aku juga…terangsang banget lihat kamu dan anak kita…pengen entotin kalian” .
“Shh…ayoh pak… entotin aku…entotin anak kita….”
“Kamu buka bajunya…” “Iya…”
“Surti…,” Panggil bapak.
“Ya, pak…?” “Buka seragamnya, telanjang bareng emak…” Aku lepas kancing seragam satu persatu. Kubuka dan kulipat bajuku, sekalian kaos dalamku. Kutaruh di tempat baju kotor. Emak juga sudah melepaskan pakainnya dan berbaring bugil. Ia mengusap-usap kemaluannya sambil memperhatikan bapak yang sedang membuka bajunya.
“Surti, celana dalamnya jangan dilepas, ya..”
“Iya pak, ini masih dipake.” Aku kembali ke tempat tidur. Kulihat batangnya bapak sudah tegak mengacung. Bapak memelukku dan menggendongku. Salah tangannya membelai pantatku, lalu menggosok-gosok belahan kemaluanku maju mundur dari belakang dari luar CD. Aku pasrah digituin dan bergelantung saja di lehernya. Selanjutnya aku diturunkan kembali.
“Surti nungging ya, sambil jilatin lagi itunya emak..”
“Iya pak.” Aku menaikkan pantatku sambil bergerak mendekati kemaluan emak. Emak melebarkan kedua kakinya menyambut kedatang lidahku di selangkangannya. Yang tak kutahu adalah apa yang hendak dilakukan bapak. Tiba-tiba saja aku merasa seperti ada dahan besar yang menerobos lubangku yang kecil. Kepalaku sampai mengadah dan menjerit,
“Aaaahh…” Dahan itu keluar dan masuk lagi,
“NGghhh…” “Ba..pa..k…ba..pak…ngapain…nn…,” tanyaku terbata-bata, karena tubuhku bergerak maju mundur dan menahan rasa nikmat.
“Bapak lagi ngentotin Surtih, nyetubuhin Surti.” Sementara itu emak memintaku untuk terus menjilat lubangnya,
“Ayo nak jangan berhenti…”
“Srii…aku lagi ngentotin anak kita….”
“Iya, pak aku lihat…” Bapak memegang pinggulku dengan erat. Kurasakan gerakannya makin kasar dan kuat. Batangnya menyeruak masuk ke dalam lubang. Disitulah aku mulai merasa kesakitan.
“Auuu…pak, stop…stop….sakit….” Emak bangkit dari baringnya. Ia merapatkan tubuhnya ke badanku. Sehingga ku jadi agak nunggin berlutut.
“Tahan nak, ntar….enak…,” ucapnya seraya menciumku dan memelintir putingku.
“Mmh mmhm…,” aku tak dapat berteriak terkunci dalam cumbu emakku. Dan memang benar, tak lama rasa sakit itu menghilang dan berganti rasa geli-geli nikmat dan itu tak dapat kubendung lagi. Srr….srrr….srr…. aku terkencing.
“Dah keluar ya nak…?”
“Iya pak…” “Ya dah bersihin dulu, ya…yuk ke WC..” Aku dan bapak melangkah ke WC. Bapak mengambil gayung dan membersihkan kemaluanku. Ada darah yang mengalir ke saluran pembuangan.
“Pak kok ada darah…?” “Gak apa-apa nak, itu darah keperawanan, nanti kamu kalau main gak sakit lagi…”
“Sri…kemari,” Panggil bapak. Emak datang mendekati kami.
“Kalian berdua senderan di tembok, jongkok.” Kemudian bapak menarik tangan kami berdua dan menaruhnya di selangakan kami satu sama lain.
“Kalian saling masturbasi, bapak mau masukin penis bapak di mulut kalian..”
“Sini, pak, aku isepin penis bapak..,” ucap emak dengan bergairah. Batang bapak yang panjang itu diarahkan ke mulut emak, disodok-sodoknya benda itu ke mulutnya.
“Owwwhh shh…..” Setelah itu bapak cabut, ia arahkan ke mulutku. Besar banget batangnya, rasanya hampir tak muat di mulutku.
“Mmhh…shhh Surti, kecil banget mulutmu…” Gerakan bapak berubah menjadi perlahan karena agak kesusahan.
“Ahh…ahh…ahh” “Sri…aku dah mau keluar….aku mau keluarin di lubang kamu.”
Bapak mencabut batangnya dari mulutku. Ia tarik emak kembali ke tempat tidur. Ia rebahkan emak, lalu ia tindih. Dengan gerakan yang sangat cepat, pinggulnya bergerak-gerak maju mundur.
“Nghh ahh..ahh..ahh.ahha.hhh..ah..” Kepala emak bergerak kiri kanan dengan mata terpejam. Ia usap-usap, rengut dan jambak kepala bapak.
“Sri..Sri..aku..keluaaar…..” Aku hanya melihat dari WC bapak mencapai klimaks, Tubuhnya mengejang hebat. Sebelum ia terkulai lemas di atas tubuh emak. Apa yang terjadi seterusnya pada malam itu adalah rahasia kami bertiga. Keesokan harinya, emak menangis tersedu-sedu.
“Huu… apa yang telah kuperbuat…apa yang telah kita perbuat…”
“Sudah tenang..gak apa-apa,” bapak mencoba menenangkan emak.
“Gak apa-apa apanya!” Bentaknya sambl memukul lengan atas bapak.
“Surti…hu u u…maafin emak nak…emak gak sadar apa yang ibu perbuat kemarin…” Emak berlari menghampiriku, berlutut di tanah dan memelukku erat.
“Emak kenapa nangis?” Tak ada sepatah kata pun yang terucap. Hanya ada suara sesegukan. 3 menit kemudian, emak melepaskan pelukannya dan kami salling memadang. Kuusap air mata yang jatuh di pipi.
“Emak gak usah sedih….,” hiburku.
“Maafin, emak ya.?”
“Maafin kenapa…?”
“Iya..yang semalam…” Emak tak bisa lanjut berkata-kata. Ia menunduk.
“Emak….,” panggilku lembut. Emak mengangkat kepalanya. Kutatap wajah emakku yang kusayang. Kudekati bibirnya, kemudian kucium. Kukeluarkan lidahku masuk ke mulutnya. Tanganku masuk ke dalam bealahan leher bajunnya dan meremas-remas dadanya yang montok. Emak mendorong tubuhku.
“Surti…jangan…” Kuraih tangan emak. Kuangkat rokku dan kumasukkan tangannya ke dalam CDku. Lalu kuberbisik di telinganya,
“Setiap hari, kalau emak mau, Surti akan jilatin lubang emak.” Kemudian kubasahkan telinga emak dengan lidahku, dari tepiannya merambah hingga ke tengahnya. Emak diam tak bergeming. Aku hanya mendengar ludah yang tertelan masuk ke tenggorokan.
“Emak mau kan lubangnya dijilatin…seperti semalam?” Kujilati lehernya seperti saat kujilat-jilat lubang emak kemarin. Tak lama kemudian kurasakan tangannya mulai bergerak perlahan menggosok belahan lubangku.
“Mmh…enak mak..,” ucapku lirih. AKu kembali mencium bibirnya dan memasukkan lidahku lagi ke dalam. Emak menyambut lidahku dengan lidahnya. Lalu ia berhenti lagi dan memelukku.
“Maafin emak, Emak birahi ama Surti…,” katanya sambil mengusap-usap punggungku. Perlahan turun ke pantatku. Lalu telapak tangannya menyusup masuk ke dalam rokku. Ia remas-remas kedua bongkah pantatku yang masih terbalut celana dalam. Sebelum akhirnya ia usap kemaluanku dari belakang.
“Aaah..Gak apa-apa, mak…ahh..ahhh”
“Maafin….,” ucapnya. Kini jarinya menyelip dari pinggir CDku dan menusuk-nusuk lubangku dengan cepat.
“Gak apa-apa emak sayang…,” jawabku sambil mulai mempercepat jilatanku di leher dan di telinganya.
“Mmhh ahh…Surti…mmhh..Surti, jilatin lubang emak sekarang…”
Emak berdiri dan melepaskan bajunya. Ia pegang kepalaku dan mendekatkan kemaluannya ke wajahku. Aku pun menjulurkan lidahku dan mulai membelah belahan bibir kemaluan emakku. Yah pagi itu, emak kubuat orgasme dengan lidahku. Semenjak itu, kami bertiga sering bermain bersama di rumah atau pun di hutan dan disungai,,,,